Oleh: Al Busthomy
Sebagai peneliti yang melakukan kajian tentang kenaikan harga BBM termasuk kemiskinan saya sebetulnya sangat gembira melihat begitu banyaknya tanggapan terhadap studi ini. Tetapi saya ikut sedih melihat kebanyakan tanggapan tidak diikuti dengan analisis yang menggunakan metodologi yang memadai. Umumnya tanggapan ini lebih disebabkan oleh sangkaan yang tidak mendasar sehingga seolah-olah riset ini dilakukan secara parsial tanpa melihat kelompok yang lain (lihat misalnya tulisan Carunia Firdausy Kompas, 3 Maret 2004) dan sangat abtraksi.
Mari sedikit saya jelaskan bagaimana sejarah penelitian ini. Penelitian ini dimulai sejak tahun 2000 pada saat LPEM diminta baik oleh Kantor Menko Perekonomian (Pak Kwik Kian Gie masih menjadi Menko) dan Departemen ESDM (Pak Presiden SBY waktu itu menjadi menterinya) menyiapkan kajian tentang dampak makro BBM. Kajian dimulai dari sekedar analisis sangat sederhana dengan melihat perbedaan harga domestik dan luar negeri dan distribusi penerima subsidi BBM. Kebetulan saya pribadi sejak tahun 1992 melakukan riset individual melihat dampak regresif dari harga BBM.
Karena BBM dinaikan setiap tahun (2001 dan 2002) maka LPEM diminta melanjutkan proses ini termasuk melakukan sosialisasi di beberapa daerah di
Bagaimana Dampak terhadap Kemiskinan dihitung?
Dalam melakukan analisis ini kami menggunakan baik pendekatan Computable General Equlibrium (CGE) maupun pendekatan sistem permintaan yang dikembangkan oleh Prof. Angus Deaton dari Princeton University yang hingga kini dianggap merupakan pendekatan empirikal terbaik. Sumber data yang digunakan sepenuhnya berasal dari Susenas yang diterbitkan oleh BPS yang menjadi dasar perhitungan tingkat kemiskinan di
Dalam menghitung dampak harga baik secara langsung maupun tidak langsung kami menggunakan hasil dari model CGE sehingga sudah memperhitungkan dampak tambahan (multiplier) dari kenaikan BBM. Dengan menggunakan elastisitas permintaan yang diestimasi secara terpisah, hasil perhitungan dampak harga ini kemudian dimasukkan dalam persamaan yang merupakan hasil optimasi konsumen dalam memaksimumkan tingkat kesejahteraan dengan kendala anggaran.
Kenaikan harga tentu akan mengakibatkan penurunan daya beli (pendapatan riil). Dampak ini sangat bervariasi tergantung pada pola konsumsi dan sensitifitas dari harga masing-masing komoditi terhadap kenaikan harga BBM. Rumah tangga miskin umumnya relatif terproteksi mengingat tiga hal. Pertama, pangsa konsumsi langsung BBM relatif kecil. Untuk BBM non minyak tanah, pangsa kelompok 40% terbawah kurang dari 1 % dari total pendapatan. Hanya minyak tanah yang lumayan besar yaitu sekitar 2,6% dari total pengeluaran. Kedua, konsumsi komoditi yang sensitif terhadap kenaikan BBM pun relatif kecil seperti pengeluaran untuk transportasi. Ketiga, Komoditi yang dominan dalam pola konsumsi rumah tangga 40% terbawah yaitu beras sebetulnya juga tidak bergerak banyak karena harga komoditi ini dijaga oleh pemerintah dan kenaikan harga BBM dilakukan pada saat siklus harga beras mengalami penurunan.
Walhasil kalau kita lihat beban kenaikan harga BBM hingga tingkat pendapatan menengah atas cenderung meningkat lebih dari proposional dan menurun lagi – walaupun masih jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok 40% terbawah.
Hasil perhitungan dampak pendapatan riil ini kemudian ditranslasikan dalam perhitungan indeks kemiskinan dengan menggunakan nilai pengeluaran RT yang baru setelah kenaikan harga BBM. Secara logis kemudian, tingkat kemiskinan meningkat. Simulasi kami menunjukkan peningkatan indeks kemiskinan yang terjadi untuk tahun 2005 lebih kecil daripada tahun 2002 atau 2003 (pada saat kenaikan dibatalkan) karena kenaikan harga kali ini tidak diikuti dengan kenaikan harga listrik.
Tingkat kemiskinan kemudian mengalami penurunan tatkala kelompok termiskin mendapatkan kompensasi yang jumlahnya lebih besar dari kebutuhan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan yang sama seperti sebelum kenaikan harga BBM. Pendekatan ini dalam teori ekonomi mikro dikenalkan dengan pendekatan Compensating Variation – yang seharusnya dipahami oleh seluruh mahasiswa dan lulusan Fakultas Ekonomi. Jelas disini perhitungan yang kami lakukan mencakup seluruh rumah tangga yang ada dalam Susenas.
Saya ingin menjelaskan secara gamblang dengan menggunakan contoh kongkrit tanpa menggunakan sistem persamaan permintaan di atas. Saya dalam menjelaskan ini secara sadar membiarkan terjadi double counting dalam perhitungan kenaikan biaya untuk memberikan semacam shockbreaker atau pengaman jika kebocoran benar-benar terjadi.
Kita ambil rumah tangga yang pengeluarannya sama dengan garis kemiskinan. Berdasarkan Susenas 2002, garis kemiskinan rata-rata sekitar Rp 114000 per kapita per bulan. Untuk mendapatkan nilai garis kemiskinan tahun 2005, kita hitung dengan akumulasi inflasi selama tiga tahun yaitu 6% per tahun . Perhitungan ini menghasilkan garis kemiskinan baru sebesar Rp 135 ribu per kapita per bulan. Supaya aman dengan memperhitungkan dampak inflasi tambahan dan mudah menghitungnya, kita mark-up saja menjadi Rp 150 per kapita per bulan atau kira-kira Rp 650 ribu per keluarga perbulan. Kenaikan BBM non minyak tanah sebetulnya hanya meningkatkan biaya per rumah tangga hanya Rp 6500 per bulan dan kalau biaya transportasi diperhitungkan lagi, total pengeluaran meningkat sekitar Rp 12000 per bulan per keluarga.
Lalu karena keluarga ini mendapatkan raskin 20 kg dan membayar hanya Rp 1000 per kg, keluarga ini secara implisit mendapat transfer sebesar 20 x (Rp 2800 – Rp 1000) = Rp. 36000 per bulan. Kalaupun beras yang diterima hanya 10 kg saja, transfer yang diterima adalah Rp 18000 per bulan dan jumlahnya masih lebih besar dari kenaikan biaya tersebut. Dengan menggunakan raskin saja, keluarga ini telah overcompensated. Apalagi kalau ditambahkan dengan pengeluaran pendidikan yang berkisar antara Rp 25 ribu hingga Rp 160 ribu per bulan dan tabungan pengeluaran kesehatan karena berdasarkan Susenas 2002 dan dimarkup untuk tahun 2005 kira-kira sekitar Rp 20 ribu per bulan per keluarga. Harap dicatat pula simulasi di atas hanya memperhitungkan kompensasi beras plus SPP (hanya kira-kira sepertiga dari subsidi pendidikan yang direncanakan)
Tanpa menggunakan perhitungan yang rumit tadi secara jelas, akibat transfer yang diperoleh kenaikan harga BBM tadi, pendapatan keluarga miskin mengalami kenaikan dan mendorong mereka keluar dari garis kemiskinan. Mengingat jarak rata-rata pendapatan penduduk miskin dengan garis kemiskinan (poverty gap) di
Siapa yang dimenangkan dan dikalahkan akibat kebijakan ini?
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial yang mengambil pelajaran ekonomi pembangunan tentu paham tentang koefisien ketimpangan seperti Indeks Gini atau Indeks Theil. Menggunakan indeks Gini, kita tahu kalau mendekati nilai 1 maka distribusinya sangat timpang. Artinya, semua pendapatan suatu perekonomian dimonopoli oleh 1 keluarga. Kalau kita memakai indeks Gini ini untuk menghitung distribusi subsidi, hampir semua komponen BBM, indeksnya nyaris mendekati 1. Hanya minyak tanah yang nilai sekitar 0,6 – itu pun sudah timpang.
Apa artinya hal ini? Kalau kita biarkan BBM terus disubsidi, kita secara sadar membiarkan proses ketimpangan distribusi pendapatan terus berlanjut. Pajak yang dipungut dari keluarga mampu dikembalikan kepada rumah tangga mampu. Secara kasar malah bisa dikatakan -mengingat rumah tangga mampu mendapatkan lebih banyak karena sebagian struktur pajak kita yang regresif dan rumah tangga belum membayar pajak- dengan subsidi BBM mereka mendapatkan lebih besar dari yang mereka bayar (dalam bentuk pajak). Agak aneh dan kontradiktif kemudian, kalau kita mengamati suara-suara atau tulisan yang menyuarakan anti kenaikan BBM justru dari orang-orang yang selama ini getol berbicara tentang ketimpangan pendapatan.
Yang kita bisa simpulkan hingga kini, dan kalau kita sepakat bahwa distribusi pendapatan harus diperbaiki, maka subsidi BBM memang sudah salah dari ”sono”nya.
Tetapi merubah kebijakan komoditi yang strategis seperti beras dan BBM tidak mudah. Menaikkan harga BBM saja jelas akan memperbaiki distribusi pendapatan. Dampak akan lebih baik jika diikuti dengan program kompensasi yang diarahkan pada rumah tangga miskin. Inilah sebetulnya rekomendasi dari penelitian LPEM.
Kembali kepada pertanyaan di atas, yang paling dimenangkan dari kebijakan ini adalah rumah tangga miskin yang mendapatkan kompensasi dan yang paling dirugikan sebetulnya kelompok pendapatan menengah yaitu kelompok kelas pendapatan 40%-60%. Kalau mereka membayar pajak pendapatan rumah tangga ini sebetulnya sudah terkompensasi sejak awal dengan kenaikan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) sebesar 300% sejak Januari 2005. Cuma sayangnya kalau melihat struktur penerimaan pajak perorangan, sebagian dari kelompok ini bukan merupakan pembayar pajak kecuali pegawai tetap termasuk buruh pabrik.
Yang sebetulnya memerlukan tambahan proteksi adalah rumah tangga yang sebelum kebijakan ini diberlakukan tergolong nyaris miskin terutama di daerah perkotaan. Oleh karena itu LPEM sejak awal meminta agar coverage raskin diperluas bukan hanya mencakup rumah tangga miskin berdasarkan kriteria BPS tetapi rumah tangga di atasnya. Kalau kita kuatir akan dikorupsi oleh aparat pemerintah, kita minta saja LSM yang melakukannya terutama untuk yang ada di daerah perkotaan. Beberapa LSM telah melakukan profesi ini menyalurkan beras dari WFP dengan baik. Hitungan saya tambahan program raskin dari 8,6 juta menjadi 10 juta keluarga memerlukan dana sebesar Rp 700 milyar. Dan jika beras digunakan adalah beras domestik maka akan menambah volume beras procurement pemerintah dan akan mengangkat harga beras dan gabah di daerah pedesaan dan akan membantu menggiatkan ekonomi pedesaan. Sayang kemudian saran ini kalah dengan program-program lain di luar pendidikan. Tetapi masih mungkin berubah karena yang dikemukakan selama ini adalah hanya usulan pemerintah. DPR masih mungkin merubahnya.
Program Kompensasi dan Pemberantasan Kemiskinan
Apakah kemudian program kompensasi ini bisa digunakan untuk menanggulangi kemiskinan?. Sebagian program ini adalah relief program yang mencoba meringankan beban orang miskin dan bukan mengangkat mereka dari kemiskinan secara permanen.
Tetapi program subsidi pendidikan dan kesehatan atau infrastruktur pedesaan jelas merupakan bagian dari peningkatan kapasitas orang miskin dan upaya mengurangi biaya transaksi dan bargaining position rumah tangga miskin.
Analisis kuantitatif dengan menggunakan model logit yang kami lakukan jelas menunjukkan peran penting pendidikan, kesehatan serta infrastruktur dalam mengurangi kemiskinan. Hubungan pendidikan dengan upah yang diterima adalah positif. Pendidikan juga merupakan ”tiket masuk” dalam pasar tenaga kerja (lihat saja prasyarat iklan lamaran pekerjaan seperti minimal lulusan SMA).
Serupa pula dengan infrastruktur dimana di banyak daerah tertinggal, kemiskinan lebih disebabkan oleh isolasi dari pasar ketimbang faktor fundamental lainnya. Lagi pula untuk produk pertanian, biaya marketing dan transportasi makin menguat perannya dalam harga akhir. Perbaikan infrastruktur akan memperkuat daya saing penduduk desa dimana 80% orang miskin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar