Rabu, 04 Juni 2008

Politik dan Kebutuhan Riil

MEMBICARAKAN pemilu, dalam kondisi sekarang ini, sebetulnya kita malu hati, tapi nun di sana, di Parlemen, justru itu semacam garam dalam sayur politik.

Pemilu masih beberapa tahun lagi, namun apa yang bernama mendesain ulang daerah pemilihan dan jumlah kursi anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk pemilu mendatang, justru mengundang keramaian politik. Desain daerah pemilihan itu tercantum dalam revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD.

Terus terang, sebagian rakyat kecil yang belakangan ini dilanda bencana, dan dicekik harga-harga kebutuhan pokok, jelaslah mereka tak punya kebutuhan dengan urusan-urusan yang tinggi dan besar itu; yang bernama strategi politik pemilu.

Kendati demikian, sebagai warga negara yang baik, kita mendukung pesta demokrasi, dan menunaikan apa yang menjadi kewajiban-kewajiban kita di dalamnya. Jadi, harapan kita, dengan aturan yang jelas dalam UU Pemilu yang baru, keputusan tentang daerah pemilihan, jumlah kursi DPR dan DPRD, tetaplah mengakomodasikan aspirasi kita, rakyat kecil.

Sungguh, kita sudah kelewat pusing pada urusan-urusan keseharian yang riil. Macam-macamlah problematiknya. Mulai dari apa yang bernama harga beras mahal, flu burung, pengangguran meningkat, bahkan sampai pajak tinggi untuk orang mati. Jadi janganlah kita ditambah oleh gemuruh perseteruan cek-cok politik. Sederhananya, UU Pemilu jangan sampai menimbulkan guncangan politik.

Bagaimanapun, bagi kalangan politisi, pemilu selalu merangsang model praktek-praktek politik, sebagai dasar perencanaan kehidupan politik yang lebih efektif. Itulah mengapa pemilu masih cukup jauh diselengegarakan, strategi-strategi ilmu politik menjalankan peranannya, walau dangkal. Tapi ia merupakan bagian dari berbagai kegiatan politik, meski apa yang disebut kegiatan politik tidaklah mudah untuk mengatakannya.

Taktik politik jelang pemilu, termasuk dalam hal ini apa yang bernama pilkada, anehnya selalu cukup memberikan alasan-alasan mengapa taktik itu “wajib” diimplementasikan. Pertanyaan pokok ini: apa sesungguhnya masyarakat luas butuhkan? Tidaklah diprioritaskan.

Karenanya pertanyaan demikian perlu diajukan karena pengertian “akal sehat” politik yang lazim mengenai apa yang tengah terjadi di masyarakat, tidaklah memadai. Dan jawabannya pun kadang-kadang mengherankan, aneh, bahkan mengejutkan untuk pengertian hidup kita sehari-hari.

Juga kita berharap UU Pemilu membawa kemashalatan bersama. Maka, perbedaan yang luas dalam persepsi politik, dan bahkan sampai batas tertentu dengan perbedaan yang bersifat normatif; karenya harus tetap diatasi agar tidak menimbulkan kegaduhan politik.

Jika tidak, dengan bersifat menjelaskan, kita cuma menilai bahwa “kegaduhan” yang paling pokok adalah mengenai apa yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat politik; bukan masyarakat awam yang lagi kesulitan beli beras. Maka untuk hadirnya pertanyaan beras atau pemilu, dapatlah kita jawab dengan mudah bahwa kini kita membutuhkan beras.

Tidak ada komentar: